Sunda Island dan Negara Pasundan

Dari artikel terkait,Sunda Island, Asal Mula Peradaban 

Entah seberapa akurat kepekaan para peneliti asing dari Des Santos hingga Oppenheimer terkait isu tentang Sunda Island sebagai moyang dari bangsa Polynesia. Terlepas dari perdebatan panjang yang tampaknya memang harus dikaji lagi lebih lanjut, Sudradjat Nataatmadja menegaskan agar Ki Sunda tetap harus mengetahui sejarah dirinya. Ki Sunda harus memiliki pijakan yang jelas dan historis. Dengan mengetahui jati dirinya, ia akan tahu di mana sebaiknya memerankan diri dalam langkah ke depan.

source: http://megamegy.deviantart.com
Missel Christabel Dharmawan,
Center for Sundanese-Chinese Understanding

SUNDA Island yang dibagi menjadi Sunda Besar dan Sunda Kecil, justru menghilang begitu saja pasca penggantian nama Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara oleh Mr. Moh. Yamin. Yang tersisa tinggal Selat Sunda, setelah istilah Sunda Kelapa pun sudah tak lagi digunakan. Adapun nama Selat Sunda pun agaknya akan lenyap kalau nanti dibangun jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera.

Bahkan nama Jawa Barat mengindikasikan seolah ia adalah Jawa di Barat. Meski makna sebenarnya yakni, “Barat (Pulau) Jawa”—dan bukan “Barat Jawa” dalam indikasi etnis. Lebih-lebih di Tatar Pasundan, pernah berdiri Negara Pasundan yang dipimpin oleh Presiden Wiranatakusumah. Kiwari, Ki Sunda sempat melakuka pertemuan yang mana mereka menginginkan penggantian nama provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan.

Orang Sunda tampaknya gerah kalau ranah mereka diembel-embeli kata “Jawa”. Terlepas dari anggapan bahwa Sunda sebenarnya, merupakan hasil pergulatan antara Hindu-Buddha, Jawa, dan Islam. Meminjam istilah Ajip Rosidi, “kalau semua hendak di-ika-kan, lalu bagaimana dengan ke-bhinneka-an itu sendiri?” ***



BICARA lebih lanjut, badak bercula satu yang hanya terdapat di Ujung Kulon, Banten, nama ilmiahnya Rhinoceros Sondaica, artinya badak sunda, karena ada di Tatar Sunda. Anehnya, di Koran-koran disebut Badak Jawa(?) Lebih-lebih di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, tidak ada badak sama sekali! Demikian halnya Panthera Tigris Sondaica (harimau sunda) yang banyak “diklaim” Harimau Jawa. Lagi-lagi karena badak sunda maupun harimau sunda terdapat di Tatar Sunda, yang mana Tatar Sunda terletak di.. (Pulau) JAWA!

Padahal, Panthera Tigris Sumatrae disebut harimau sumatera. Dan panther tigris balicia disebut harimau bali. (Ajip Rosidi)

Untung urang Sunda sabar penuh maklum (jembar hate), kata Ajip. Atau penakut? Sehingga masalah tersebut tidak pernah dipersoalkan secara terbuka sampai sekarang. Orang Sunda memang tidak punya daya tekan yang kuat untuk menekan pemerintahan nasional.

Hanya 20% anggota DPR (legislatif) merupakan suara dari Tatar Pasundan. Sebagai etnik kedua (dan “kedua”) di Indonesia, peringkat itu tidak pernah diperhitungkan di tingkat nasional. Parahnya, orang Sunda tidak mempunyai kesadaran kolektif tentang keadaan yang tidak menguntungkan ini. ***



ORANG Sunda umumnya, lebih suka melarikan diri dari keterpurukan masa kini, ke keagungan masa lalu. Dengan melupakan tantangan nyata yang dihadapi di masa depan. (Yayat Hendrayana, 2011) Rendahnya tingkat produktivitas dan daya saing orang Sunda dalam skala regional maupun nasional, disebabkan pola pikir orang Sunda sendiri. Lebih jauh menurut Yayat, masa lalu bagi orang Sunda senantiasa membangkitkan kebanggaan mereka. Maka temuan Oppenheimer dan Des Santos yang notabene menunjukkan keagungan masa lalu orang Sunda, menjadi kebanggaan baru Tatar Sunda.

Leluhur Sunda adalah orang-orang yang jenius dan berperadaban tinggi, sebuah kebanggan yang seharusnya dijadikan modal berharga untuk membangun Sunda Kiwari (masa kini) dan Sunda Jaga (masa depan). Sayang kebanggaan itu tidak diikuti langkah-langkah konkrit, kata Yayat, kecuali hanya menjadi kebanggaan semata. Yayat mempertanyakan mengapa kok orang Sunda sekarang mengalami degradasi sedemikian tajam dalam pergaulan antar-etnik di tingkat nasional? Apa-apa sajakah yang menjadi faktor penyebabnya?

Sementara diungkapkan Sudradjat, masa lalu Ki Sunda, dipimpin raja besar, Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Negara yang menyediakan sandang dan pangan bagi rakyatnya. Serta jaminan kemakmuran dan perlindungan hukum. Negara yang gemah ripah loh jenawi dan diridai Tuhan Yang Maha-Esa. Dikemukakan pula, masyarakat Sunda tidak boleh lagi sekadar “agul ku boboko butut” alias membangga-banggakan sesuatu hal yang sudah tidak “up to date” lagi. Ki Sunda sudah saatnya memimpin!

Sedang menurut Prof. Dr. Engkoswara, cara yang digunakan bukan menuntut orang lain untuk mengangkatnya, melainkan dengan berkarya, bersikap professional, memperlihatkan etos kerja, disiplin tinggi, dan kerja keras. Apalagi, sebagaimana diungkapkan Prof. Didi Turmudzi, orang Sunda cenderung pintar, gadis-gadisnya cantik-cantik. Konon, 8 dari 10 perempuan Sunda, sedap dipandang. Lagipula masyarakat Sunda terkenal religius dan kreatif!

Dalam perspektif Prof. Didi Turmudzi, jika membuat definisi bahwa orang Sunda adalah orang yang berdarah-daging Sunda, maka akan menemukan kendala yang rumit. Maka dari itu, menurut Didi, yang paling memungkinkan adalah, siapapun yang merasa memiliki Kultur Sunda, maka ia berhak, disebut.. orang Sunda.

Orang Sunda pun harus memiliki ambisi politik. Selama ini kita tidak memiliki ambisi itu. Kesempatan kekuasaan nasional akan tetap diambil orang lain. Sekarang saatnya kita bersiap diri mengambil kesempatan itu selagi ada! ***