We Rest Our Hopes In You

 Masjid Agung Al-Musabaqoh Subang (Source: Airologika)


Negara yang mempelajari sejarah bangsanya, dan mengambil manfaat dari sejarah tersebut, akan menjadi suatu negara yang besar. Mempelajari sejarah dapat membangkitkan rasa cinta kepada Tanah Air. Apalah arti sebuah nama Wangsa Ghofarana untuk sebuah nama jalan di sudut Kabupaten Subang, jika toh kenyataanya orang setempat tidak tahu siapa beliau.

SAAT melintasi Jalan Oto Iskandardinata pada malam hari dari arah utara, kita melihat ada banyak gedung di kiri dan kanan kita, mulai dari gedung sekolah, penginapan, rumah makan, toserba, dan konter hape pun tampak merambat pesat menambah keramaian Otista. Boleh dibilang Otista atau sebagian dari kita ada yang menyebutnya OTT (baca: o-te-te) merupakan salah satu jalan paling meriah di antara jalan-jalan yang ada di Kabupaten Subang.

Setelah menemui bundaran yang berada tepat di depan eks Hotel Subang Plaza (HSP), jika belok ke arah kanan, maka sama artinya kita masih betah dengan suasana semarak dengan melanjutkan perjalanan di Jalan R. Soeprapto.

Akan tetapi jika kita lebih memilih jalan lurus, maka kita akan segera merasakan suasana malam yang dinamis berhiaskan lampu hias bergaya Eropa yang berdiri membaris di atas jalan trotoar kiri dan kanan yang memang sedikit menghalangi pejalan kaki.

Sebelumya jalan ini bernama Jalan Masjid Agung karena kebetulan di jalan ini kita bisa menjumpai masjid paling megah di Kabupaten Subang, yaitu Masjid Agung. Tetapi nama jalan ini kini telah diganti menjadi Jalan Wangsa Ghofarana. Plang nama jalan ini berada sekitar 5 meter dari gapura Jalan Dewi Sartika—jalan menuju Kantor DPRD dan Pemda.

Sebetulnya tidak sedikit urang Subang yang ada di wilayah kecamatan terkait yang tidak tahu siapa sebenarnya tokoh bernama Wangsa Ghofarana itu sehingga namanya diabadikan Pemkab sebagai nama sebuah jalan yang membentang di antara Masjid Agung dan Alun-alun yang sempat aku khayalkan sebagai Stamford Bridge itu—stadion sepakbola di Inggris (yang benar saja). Habis, saya suka main bola dengan kawan-kawan ketika kecil, di sana.

Plang jalan yang terlihat bengkok pisan diduga akibat ulah budak iseng yang sempat berkeliaran di wilayah itu. Kebetulan jalan ini memang jalan yang paling strategis dalam hal dilintasi barudak sepantaran kita. tentu saja karena di sana terletak Lapang Alun-alun yang biasa dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk bermain sepakbola.

Kalau nama Oto Iskandardinata sih mungkin enggak bakal awam-awam banget, paling tidak tahu lah kalau beliau ini adalah seorang tokoh pahlawan nasional dari kalangan Sunda yang turut mendirikan organisasi Paguyuban Pasundan (PP). PP sendiri adalah organisasi budaya Sunda yang berdiri sejak tanggal 20 Juli 1913, sehingga menjadi salah satu organisasi tertua yang masih eksis sampai saat ini.

Selama keberadaannya, organisasi ini telah bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Paguyuban ini berupaya untuk melestarikan budaya Sunda dengan melibatkan bukan hanya orang Sunda tapi semua yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Sunda.

Oto Iskandardinata, dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional—asal Bojongsoang, Bandung, kelahiran 31 Maret 1897. Setamat HIS, Oto kecil melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru di Purworejo, Jawa Tengah, hingga menjadi seorang guru di Banjarnegara, kemudian pindah ke Pekalongan, Jawa Tengah, jauh sebelum menjadi pengurus PP.

Sebagai pengurus Paguyuban Pasundan, ia diangkat menjadi anggota volksraad. Ia dikenal berani mengecam pemerintah kolonial Belanda. Karena keberaniannya itulah ia dijuluki Si Jalak Harupat.

Tak hanya nama Oto Iskandardinata, yang namanya diabadikan menjadi nama beberapa jalan raya/jalan protokol di Indonesia. Bahkan julukan “Si Jalak Harupat” diabadikan menjadi nama sebuah stadion sepakbola terbagus di Tanah Air, hampir sebagus Stamford Bridge meureun. Ya, Stadion Si Jalak Harupat yang tepatnya terletak di Soreang, Kab. Bandung ini, dianggap memiliki fasilitas terbaik di Indonesia, dengan standar internasional.

Sekarang kita bisa tahu tampang Si Jalak Harupat pada uang kertas pecahan IDR 20.000 yang mungkin kebetulan sekarang sedang berada di dalam saku atau dompet kamu. Kalau memang ada, cobalah untuk mengambil dan membentangkannya sebelum memerhatikan wajah Oto yang sedang tersenyum menyiratkan keikhlasan, keningnya yang lebar mencerminkan kecerdasan, dan tubuhnya yang tegap menunjukkan keberanian. ***



(Source: frhdee)

Wangsa Ghofarana
WANGSA Ghofarana adalah putera Sunan Wanapati, raja di Talaga. Menurut silsilah Cianjur, ia putra Sunan Ciburang putra Sunan Wanaperi. Betapapun Ghofarana adalah Putra Talaga keturunan Ratu Galuh dan Siliwangi, Raja Pajajaran.

Ghofarana dikatakan sebagai orang pertama dari Talaga yang memeluk ajaran Islam. Penyebaran Islam ke talaga adalah hasil kegiatan Sunan Gunungjati (SGJ). SGJ berambisi menyebarkan agama Islam pada kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur seperti Talaga, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Garut, dan Galuh.

Ghofarana melihat masa depan kehidupannya penuh dengan kegiatan yang sesuai dengan semangat pengorbanan untuk menyebarkan agama Islam. Ia ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu Sunan Gunungjati dalam usahanya menarik rakyat jawa barat ke dalam lingkungan masyarakat Muslim.

Karena bagian timur Jawa Barat dan Indramayu sampai Galuh sudah berangsur-angsur menerima agama Islam, maka Ghofarana memilih untuk memasuki wilayah yang rakyatnya sama sekali awam soal Islam. Ia datang ke Sagalaherang bersama para pengikutnya pada abad ke-XVI. Berkat kegigihannya, Wangsa Ghofarana berhasil melakukan pengislaman di daerah Subang—berikut Pagaden, Cianjur, Sukabumi dan Limbangan.

Ghofarana melahirkan keturunan yang menduduki posisi penting dalam bidang pemerintahan dan kerohanian sehingga tidak keliru pendapat ihwal Subang Selatan yang telah turut menyumbangkan saham besar dalam usaha pembangunan masyarakat Subang.

Perintis penyebar Islam di wilayah Subang, Wangsa Ghofarana dimakamkan di Nangkabeurit, Kec. Sagalaherang. Dan namanya bukan saja ada di batu nisannya, tetapi juga abadi sebagai nama sebuah jalan yang dirindangi pohon cemara badag sekaligus menjadi alamat Masjid Agung Al-Musabaqoh Subang. Dan yang terpenting nama jalan itu sudah bukan lagi sekadar penamaan belaka, karena kini kita telah mengenal siapa beliau.***