But, What Can I Do?

KENAPA kau terus memintaku untuk bersyukur dan beribadat kepada Tuhan, sementara Ia hanya bisa memberikan seseorang sepertimu. Itu pun aku tak yakin kalau kau adalah benar-benar milikku. Beribadat itu pekerjaan mudah dan aku pikir sama mudahnya dengan ketika Tuhan mengazab dan mengutukku karena murtad dan kekufuran yang telah kuperbuat.

Lagipula, siapa tahan hidup dalam kemiskinan yang berlanjut-lanjut. Demi Tuhan yang telah mengasihiku dengan caraNya, aku terus menyinggung kemiskinan. Karena ini terasa seperti kutukan terindah yang merambat ke seluruh tubuh. Mencekik.

Dalam benakku hanya ada keperihan dan penderitaan. Selain itu, sekadar kecemburuan dan hasrat untuk menuntut balas. Aku mencoba untuk kembali kepada jalan yang benar. Tapi mataku sudah terlanjur sakit dan seperti sukar untuk bisa disembuhkan. Aku sungguh-sungguh telah mengalami kebutaan.

Aku tak lagi bisa membedakan mana hitam dan mana kegelapan. Hah? Ya, bahkan aku tak melihat di mana kebenaran itu berada. Bentuk kesetiaan itu entah siapa pernah menaruh dan menemukannya. Semuanya tampak seperti omong kosong. Kosong.

Demi penderitaan yang dialami Kain dan Habel. Hanya kalian berdua yang kupuja sebagai inspirasi terbaik. Lambang kecemburuan, kutukan tak beralasan, cahaya yang hanya menuntun kepada jalan tak berujung. Kebodohan yang mengidentikkanku dengan kesialan dan penderitaan belakangan. Kau main gila di belakangku. Itu terdengar seperti mukjizat. Tak pernah aku sebahagia ini. Tapi aku bisa apa, Maria?!

Selain itu?

Sudahlah, hentikan semua ini.

Hentikan semua nasihat dan tuntutan yang kalian sebut sebagai bentuk kepedulian. Kalian tak punya cukup waktu untuk benar-benar peduli kepada orang yang selama ini hidup hanya untuk mengeluh dan menggerutu. Emosional, mudah kesal, dan senang melampiaskan kemarahan kepada apapun yang ada di dekatnya.

Lebih buruk dari sekadar berat badan yang merosot untuk setiap menitnya. Inilah yang selalu Tuhan anugerahkan untukku, kasih sayang yang menghangatkan tubuh ketika aku sedang berada di bawah teriknya matahari.

Ayolah, aku tidak sedang menyalahkanmu, Maria. Aku hanya meratapi nasibku yang masih berada di dalam lubang sumur. Berharap seseorang masuk ke dalam sini dan menemaniku sepanjang hari. Dan saat kubiarkan ia pulang saat malam menjelang. Ia menyatakan enggan dan bilang persetan dengan petang jika bersamaku lebih mendamaikan dan menemaniku sepanjang malam itu kesejahteraan. Itu terdengat seperti lantunan lagu kematian yang meniup lubang telinga sampai membekukan sekujur tubuh.

Maria, memujamu itu menyehatkanku. Mencium dan mencumbumu itu membugarkanku. Memelukmu erat-erat, menahan sesak, terengah-engah, keringat bercucuran, sampai kita terjatuh dalam keadaan basah itu semakin membuatku kehilangan gairah untuk mencari siapa jati diriku. Aku menyayangimu. Kau pun menyayangiku –semoga kata-katamu jujur.

Aku mencintaimu, namun kau bilang kau tak percaya dengan cinta. Malah kau mendeskripisikan perasaan—yang belakangan kuakui indahnya tak sekadar pesona seperti yang kau lihat dari kejernihan sebiji kristal–sebagai kata kerja paling bermasalah dalam sejarah perbendaharaan kata-kata. Terlebih menurutmu itu seperti kemasan untuk sekepul nafsu. Ya Tuhan, aku harap kau berhenti membinali dan dibinali orang.

Aku tak mengerti apa yang menjadi rencanamu. Energi negatif, bagaimana ia datang ketika kau sedang berpikir tentang hujan yang merusak suasana hatimu padahal mereka berjatuhan sebagai rahmat. Bahkan ketika alunan senja itu menyentuhmu dengan indahnya, kau masih memikirkan adakah yang lebih busuk dari sekadar aroma bangkai  Raja yang lalim. Ketahuilah, tiada seorang Raja pun yang lebih arif dariku. Haha. Aku hanya merasa kalau aku memang sudah gila.


Bahkan kalaupun kau mengencingi kepalaku, aku tetap akan menunjukkan seperti apa mukaku ketika sedang menjadi malaikat. Karena terus terang dan jika harus kukatakan ini, aku serius sangat ingin menjeratmu. Menjeratmu dengan perasaan cinta yang mendalam. Cinta dalam definisiku, bukan seperti perspektifmu yang konyol. Kau hanya mengintimidasiku gara-gara paranoid dan perasaan trauma yang memaksamu melakukan itu.

Namun bagaiamana kalau aku tetap ingin bersikeras memperlakukanmu secara istimewa dan memintamu menganggap ini sebagai balasan atas semua perselingkuhan yang menjadi kebiasaan buruk komunitas kalian, bahkan kesenangan yang mengundang kata-kata menghantam berbunyi bahwa pembalasan lebih kejam dari sekadar ide dan perbuatan.  Seperti yang selalu kukatakan aku mengikuti semua aturan dan segalanya yang menjadi kehendak kalian.

Aku tidak tahu apakah kau suka bermain layangan ketika kecil. Tapi aku melihat kau sangat pandai. Aku merasa tenteram berada dalam kendalimu, ditarik dan diulur ke depan dan ke belakang. Menjadi mainanmu adalah sebuah kebanggaaan untukku. Terus saja menggerakkanku ke kiri dan ke kanan.

Aku seperti sedang berdansa dengan diiringi alunan musik RnB. Tak pernah aku merasa segirang ini, perutku kembung tenggelam dalam teriknya hari. Bahkan kita tidak berbicara tentang angin yang melengkapi penderitaan ini. Aku terjatuh pasrah, kau melongoh saja ketika benang yang menghubungkan jiwa kita terputus dengan mudahnya.

Wahai makhluk menjijikkan yang memasang tanduknya kulihat dari dekat seraya memegang bahumu, “kau bidadari,..” Dan tak ada lagi kemunafikan di tengah kita, yang ada hanyalah MUKJIZAT beraroma semerbak! ***