Kerajaan Sunda


KERAJAAN Sunda adalah kerajaan yang pernah ada tahun 932-1579 M di bagian barat Pulau Jawa atau meliputi wilayah Provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang. Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) ‘Sunda’ menunjuk kepada daerah pesisir bagian barat Pulau Jawa, tepatnya daerah Banten.

Awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan ‘Sinto suatu kota dan daerah sekitarnya yang menghasilkan lada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya daerah Banten, maka kini semua pakar sejarah sepakat bahwa ‘Sunda’ yang dimaksud adalah Banten.

Sekitar tahun 1500, ‘Shungfeng Xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama ‘Wantan dan ‘Shunta’ untuk Kota Banten. Pada masa yang sama dua penulis Arab pun, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan ‘Sunda’ pada pelabuhan yang terletak paling barat di pantai utara Pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu pada Banten.

Peta Portugis yang paling lama mengenal kawasan ini menyebut ‘Sunda’ sebagai daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan ‘Sunda’, kadang-kadang ‘Bantam’ bahkan ‘Sunda-Bantam’. Maka diperkirakan orang Portugis yang pertama menimbulkan kerancuan dengan menamakan ‘Sunda’ sebagai keseluruhan Jawa Barat.

Namun akhir abad ke-16, orang Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih banyak tentang Banten, mereka menulis bahwa ‘Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian Pulau Jawa yang paling di barat di mana lada tumbuh’. Gambaran ini sama seperti yang ditulis Zhao Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.

Prasasti Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932, seorang Raja Sunda menduduki kembali tahtanya. Adapun penggunaan bahasa Melayu ini menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya. Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 Saka Sunda (1030 M), pusat kerajaan Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak, di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi.

Menurut Naskah Wangsakerta, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Saka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah. ***

Wilayah kekuasaan
MENURUT naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu-Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Cipamali (sekarang disebut Kali Brebes) dan Ciserayu (sekarang disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Kerajaan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. ***

Historiografi
RUJUKAN awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka Sunda (536 M). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut; ’Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.

Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 M) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD).

Rujukan lainnya, Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D73 (Cicatih), D96, D97 dan D98.

Isi prasasti tersebut menurut Pleyte: ‘Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika, hari 12 pada bagian terang, hari Hariang Kaliwon, hari pertama wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika Raja Sunda, Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana-mandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghyang Tapak ini.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.’

Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III Sarga 1. Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964 Saka; 1030-1042 AD). ***






Catatan sejarah dari Cina
MENURUT F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua, mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing.

Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di ‘Sinto’. Zhao melaporkan bahwa; ‘Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun di atas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Tapan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman.

Buku perjalanan Cina Shunfeng Xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan; ‘Dalam perjalanan ke arah timur dari Shunta, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97,5 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon.’ ***

Catatan sejarah dari Eropa
LAPORAN Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Penjelajah Portugal, Tomé Pires dalam bukunya Suma Oriental (1513-1515) menulis; ‘beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari keseluruhan Pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya."

Tulisan ini membawa kerancuan, dengan menyatakan bahwa kerajaan Sunda meliputi ‘sepertiga dari Pulau Jawa’, sedangkan pada masa Pires, Sunda masih mengacu pada pelabuhan Banten sekarang. ***

Berdirinya Kerajaan Sunda
MENURUT Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah 666-669 M), menikahi Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.

Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan di mana di daerah tersebut Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (18 Mei 669). Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dibatasi sungai Citarum—Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur. ***

Federasi Sunda dan Galuh
PUTERA sulung Tarusbawa, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.

Ibu dari Rahyang Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga, Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Bratasenawa atau Sena, pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya saudara satu ibu tetapi lain ayah.

Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Di kemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.

Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.

Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh. Sedangkan Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.

Sang Banga (Prabu Kertabuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).

Karena Rakryan Hujungkulon pun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus (Prabu Gajahkulon), yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Prabu Linggabumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus, sampai ia wafat tahun 891.


Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).

Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya, putera Kamuninggading, Sang Limburkancana (954-964).

Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat Prasasti Cibadak, Sri Jayabupati (1030-1042). Sri Jayabupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua Raja Airlangga (1019-1042).

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabu Langlangbumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.

Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabu Ragasuci; 1297-1303). Prabu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350).

Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya, Niskalawastukancana masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Sepeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya (Prabu Suryakancana; 1567-1579).

Prabu Suryakancana merupakan pemimpin Kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Suryakancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh. ***

Arkeologi
DI Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut ‘Arca Caringin’ karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.

Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah. ***

Hubungan dengan Singasari
DALAM Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada. ***

Hubungan dengan Eropa
KERAJAAN Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Prancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Pada tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. ***




Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
DI bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

1.        Prabu Tarusbawa (menantu Linggawarman; 669-723)
2.        Prabu Harisdharma (atau Sanjaya, menantu Tarusbawa; 723-732)
3.        Prabu Brahmawijaya (732-739)
4.        Prabu Banga (739-766)
5.        Prabu Hulukujang (766-783)
6.        Prabu Gilingwesi (menantu Prabu Hulukujang; 783-795)
7.        Prabu Dharmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795-819)
8.        Prabu Gajahkulon (819-891)
9.        Prabu Dharmaraksa (adik ipar Prabu Gajahkulon; 891-895)
10.     Prabu Déwageng (Windusakti; 895-913)
11.     Prabu Pucukwesi (913-916)
12.     Prabu Jayagiri (menantu Prabu Pucukwesi; 916-942)
13.     Prabu Atmayadharma Hariwangsa (942-954)
14.     Prabu Limbur Kancana (putera Prabu Pucukwesi; 954-964)
15.     Prabu Ganawirya (964-973)
16.     Prabu Wulunggadung (Munding Wulunggadung; 973-989)
17.     Prabu Brajawisésa (989-1012)
18.     Prabu Déwa Sanghyang (1012-1019)
19.     Prabu Sanghyang Ageng (1019-1030)
20.     Prabu Jayabupati (Detya Maharaja; 1030-1042)
21.     Prabu Dharmaraja (1042-1065)
22.     Prabu Langlangbumi (1065-1155)
23.     Prabu Menakluhur (Rakeyan Jayagiri; 1155-1157)
24.     Prabu Dharmakusuma (Sang Mokténg Winduraja; 1157-1175)
25.     Prabu Dharmasiksa (Prabu Sanghyang Wisnu; 1175-1297)
26.     Prabu Ragasuci (1297-1303)
27.     Prabu Citraganda (1303-1311)
28.     Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29.     Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30.     Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31.     Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357)
32.     Prabu Bunisora (1357-1371)
33.     Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34.     Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35.     Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja; 1482-1521)
36.     Prabu Surawisésa (1521-1535)
37.     Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38.     Prabu Sakti (1543-1551)
39.     Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40.     Prabu Ragamulya (Prabu Suryakancana; 1567-1579) ***