KERAJAAN Sunda adalah kerajaan yang pernah
ada tahun 932-1579 M di bagian barat Pulau
Jawa atau meliputi wilayah Provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang. Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) ‘Sunda’ menunjuk kepada daerah pesisir
bagian barat Pulau Jawa, tepatnya daerah Banten.
Awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan ‘Sinto’ suatu kota dan daerah sekitarnya yang
menghasilkan lada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya
daerah Banten, maka kini semua pakar
sejarah sepakat bahwa ‘Sunda’ yang dimaksud adalah Banten.
Sekitar tahun 1500, ‘Shungfeng Xiangsong’, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama ‘Wantan’ dan ‘Shunta’ untuk Kota Banten. Pada masa yang sama dua penulis Arab
pun, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan ‘Sunda’ pada
pelabuhan yang terletak paling barat di pantai utara Pulau Jawa, yang hanya
dapat mengacu pada Banten.
Peta Portugis yang paling lama
mengenal kawasan ini menyebut ‘Sunda’ sebagai daerah muara sungai yang letaknya
di bagian barat pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan
‘Sunda’, kadang-kadang ‘Bantam’ bahkan ‘Sunda-Bantam’. Maka
diperkirakan orang Portugis yang pertama menimbulkan kerancuan dengan menamakan
‘Sunda’ sebagai keseluruhan Jawa Barat.
Namun akhir abad ke-16, orang
Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih
banyak tentang Banten, mereka menulis bahwa ‘Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian Pulau Jawa yang paling di
barat di mana lada tumbuh’. Gambaran ini sama seperti yang ditulis Zhao
Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.
Prasasti Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932,
seorang Raja Sunda menduduki kembali tahtanya. Adapun penggunaan bahasa Melayu
ini menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya.
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 Saka Sunda (1030 M), pusat kerajaan Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di
sekitar Cicatih dekat Cibadak, di pedalaman Jawa Barat,
bukan di pesisir lagi.
Menurut Naskah Wangsakerta, Sunda merupakan kerajaan
yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan
oleh Tarusbawa pada tahun 591
Saka Sunda (669 M).
Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang
meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.
***
Wilayah
kekuasaan
MENURUT naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang
pendeta Hindu-Sunda yang mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16),
yang saat ini disimpan pada Perpustakaan
Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Cipamali (sekarang disebut Kali Brebes) dan Ciserayu (sekarang
disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah
Wangsakerta,
wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara
keluarga Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Lampung. Lampung dipisahkan dari
bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. ***
Historiografi
RUJUKAN awal nama Sunda sebagai
sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka Sunda (536 M). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut; ’Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458
Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.’
Beberapa orang berpendapat
bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 M) karena
tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan
Tarumanagara (358-669 AD).
Rujukan lainnya, Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4
buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut
ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D73 (Cicatih), D96, D97 dan D98.
Isi prasasti tersebut menurut Pleyte: ‘Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika, hari 12 pada bagian terang, hari Hariang Kaliwon, hari
pertama wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika Raja Sunda, Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana-mandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghyang Tapak ini.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang
diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini
dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.’
Tanggal prasasti Jayabupati
diperkirakan 11 Oktober 1030.
Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III Sarga 1. Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964 Saka; 1030-1042 AD). ***
Catatan sejarah
dari Cina
MENURUT F. Hirt dan WW Rockhill,
ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur
perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua, mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang
yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing.
Dalam laporannya tentang
negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di ‘Sinto’.
Zhao melaporkan bahwa; ‘Orang-orang
tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang
pertanian, rumah-rumah mereka dibangun di atas tiang (rumah panggung) dan
dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat
dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus
pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai
panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil,
tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Tapan (Tuban, Jawa
Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman.’
Buku perjalanan Cina Shunfeng Xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan; ‘Dalam
perjalanan ke arah timur dari Shunta,
sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97,5 derajat selama tiga jam
untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk
mencapai Cirebon.’ ***
Catatan sejarah
dari Eropa
LAPORAN Eropa berasal dari periode
berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Penjelajah Portugal, Tomé Pires dalam bukunya Suma Oriental (1513-1515) menulis; ‘beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan
Sunda luasnya setengah dari keseluruhan Pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan
bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga Pulau Jawa ditambah
seperdelapannya."
Tulisan ini membawa kerancuan,
dengan menyatakan bahwa kerajaan Sunda meliputi ‘sepertiga dari Pulau Jawa’,
sedangkan pada masa Pires, Sunda masih mengacu pada pelabuhan Banten sekarang.
***
Berdirinya
Kerajaan Sunda
MENURUT Naskah Wangsakerta dari
Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan
Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi
(memerintah 666-669 M), menikahi Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah
dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana,
menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa,
yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman
meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini
menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri
dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan di mana di daerah tersebut Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi
bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519
Saka (18 Mei 669). Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh dibatasi sungai Citarum—Sunda di sebelah barat, Galuh
di sebelah timur. ***
Federasi Sunda
dan Galuh
PUTERA sulung Tarusbawa,
Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak
perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu
Tarusbawa ini lantas dinikahi Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera,
Rahyang Tamperan.
Ibu dari Rahyang Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima
dari Kalingga, Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa, Raja Galuh ketiga sekaligus
teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Bratasenawa atau Sena, pada tahun 716 M dikudeta dari
tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora
dan Sena sebenarnya saudara satu ibu tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya
menyelamatkan diri ke Pakuan
Pajajaran,
pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali
memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Di kemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus
Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan
ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal
(tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan
Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya
menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh
kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan
selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai
Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di
Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua
puteranya; Sang Manarah (dalam
carita rakyat disebut Ciung Wanara)
di Galuh. Sedangkan Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabu Kertabuwana Yasawiguna Hajimulya)
menjadi raja selama 27 tahun (739-766),
tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759.
Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera
bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan
kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783)
dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya
kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon
atau Prabu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai
Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon pun
hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya,
Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu
Pucukbumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus (Prabu
Gajahkulon), yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Prabu Linggabumi (813-842),
meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus, sampai ia
wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus,
kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik
iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak
disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan
kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan
Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan
Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut
oleh adiknya, Rakryan Jayagiri
(916).
Rakryan Jayagiri berkuasa
selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya,
Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya, putera
Kamuninggading, Sang Limburkancana
(954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan
Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari
Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan
kekuasaannya ka puteranya, Rakryan
Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan
diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat Prasasti Cibadak, Sri Jayabupati (1030-1042). Sri Jayabupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua Raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati,
kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja
(1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabu
Langlangbumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabu
Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma,
kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun
(1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun,
tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya
(Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabu
Ragasuci; 1297-1303). Prabu
Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu
Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh
keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata
(1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan
kekuasaannya ke menantunya, Prabu
Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350).
Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja
Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya, Niskalawastukancana masih kecil,
kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih
Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sepeninggal Prabu Bunisora,
kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian
memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah
sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa
dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati.
Pemerintahannya terbilang lama
(1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya
yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana
(Prabu Déwaniskala), yang meneruskan
kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan
Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan
Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh
turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu Déwatabuanawisésa
(1535-1543), Prabu Sakti
(1543-1551), Prabu Nilakéndra
(1551-1567), serta Prabu Ragamulya (Prabu Suryakancana; 1567-1579).
Prabu Suryakancana merupakan
pemimpin Kerajaan Sunda-Galuh yang
terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Suryakancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh. ***
Arkeologi
DI Museum
Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut ‘Arca Caringin’ karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan
ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung
Pulosari,
dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung
Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10
km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu
istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan
dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah. ***
Hubungan dengan
Singasari
DALAM Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain
turut bertekuk lutut, tak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di
kemudian hari kerajaan Majapahit sebagai penerus yang
kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda
harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada. ***
Hubungan dengan
Eropa
KERAJAAN Sunda sudah lama menjalin
hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Prancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah
menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Pada tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang
Portugis membangun benteng dan gudang di Pelabuhan
Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan
memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. ***
Raja-raja
Kerajaan Sunda-Galuh
DI bawah ini deretan raja-raja
yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):