Magari Insya-Allah

Julia Roberts dalam film "Eat Pray Love"


Sebelum meninggalkan New York untuk berangkat ke Italia, Elizabeth Gilbert (Eat, Pray, Love) mengirim satu kotak buku-buku dengan kapal laut. Kiriman tersebut digaransi akan tiba di apartemennya di Italia, dalam waktu 4-6 hari. Namun setelah dua bulan sejak Liss mengirim barang tersebut, ia tak melihat tanda-tanda barang itu akan datang. Liss pergi ke kantor pos beberapa kali untuk menelusuri kiriman barangnya—namun tanpa hasil. Pekerja kantor pos Roma tidak begitu menghiraukan kehadiran Liss. “Wanita tersebut melihat pada saya seperti saya sedang meniup balon-balon dari sabun,” keluh Liss.

“MUNGKINKAH kiriman itu akan sampai di sini minggu depan?” Liss bertanya pada wanita itu dalam bahasa Italia. Dia mengangkat bahunya, “magari.” Satu lagi bahasa slang Italia yang tidak dapat diterjemahkan. Sebelumnya Liss menafsirkan che casino (=apa tempat perjudian) dan che bordello (=apa tempat bordil), sebagai kacaunya hubungan badan dengan wanita. Kata magari yang diucapkan wanita petugas pos, di telinga Liss lebih terdengar seperti sebuah makna yang berarti antara mudah-mudahan dan dalam mimpimu, tolol!

Magari,’ Nyonya Gilbert. Jika Anda mau mencoba menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda, maksud saya, jika Anda kemudian turut tertarik dengan bahasa Sunda, setelah Anda pernah sangat menggilai bahasa Italia, tentu saja. Kita bisa menggunakan kata ‘teuing’ untuk menerjemahkan kata ‘magari’ tadi. Jika Anda mau berkunjung ke belahan lain di Indonesia, (Psst… Pulau Bali pernah menjadi sejarah yang mengesankan dalam kehidupan Nyonya Gilbert.) Anda akan melihat, Sunda adalah hasil pergulatan budaya antara Jawa, Hindu, dan Islam sekaligus. ***


Elizabeth Gilbert

JIKA kita bertanya pada seorang Protestan dari American Midwest, kata Elizabeth Gilbert, untuk membuat janji makan hari kamis malam depan, orang Protestan yang percaya bahwa dia merupakan kapten dari nasibnya sendiri, akan bilang, “hari kamis malam depan saya akan datang,” tapi jika kita bertanya pada orang Katolik dari Calabria untuk janji yang sama, ia hanya akan mengangkat bahunya, “bagaimana kita dapat mengetahui apakah kamis malam minggu depan kami tak ada acara, karena semuanya berada di tangan Tuhan. Dan tak seorang pun dari kita yang tahu mengenai takdir kita.”

Seandainya kita mau menanyakan hal yang sama pada masyarakat Muslim di Indonesia, dalam hal ini etnis Sunda, Nyonya Gilbert. Orang Islam yang taat biasanya menghabiskan malam jumat mereka dalam ibadah. Pengajian di Mesjid, misalnya. Terlepas dari hal itu, masyarakat Muslim dalam hal berjanji, mereka senantiasa mengatakan “insya-Allah” yaitu “jika Allah menghendaki”.

Ya, atau dapat dipahami sebagai berikut; “jika Allah memperkenankan saya untuk datang hari kamis malam mendatang, maka saya akan datang. Saya telah meniatkan diri saya untuk datang pada undangan Anda. Akan tetapi kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi hari kamis malam mendatang. Bahkan lima menit dari sekarang, bukan?”

 "Magari"


‘Insya-Allah’ tidak merupakan suatu bentuk penolakan, ia jelas-jelas merupakan tanda setuju. Tapi kata ‘insya-Allah’ ini sekaligus memosisikan diri kita betapa kita amat bergantung kepada Tuhan. Semakin kita banyak bergantung terhadap sesuatu, semakin kita menunjukkan lemahnya diri kita di hadapannya. Dan sebaik-baiknya ketergantungan adalah bergantung kepada Tuhan.

“Hai Nasruddin, hendak ke mana engkau?” Tanya seseorang kepada Nasruddin Hoja. “Aku hendak ke pasar membeli unta,” jawab Nasruddin. “katakan insya-Allah!” tegur orang itu. “Aku mengantungi uang 40 dinar dalam saku celanaku.” Hingga beberapa saat kemudian, orang yang sama mendapati Nasruddin baru saja kembali dari pasar dengan tangan kosong. Ia baru saja dirampok penjahat tanpa sempat sampai ke pasar, rupanya. “Mana unta yang kau beli, Nasrud?” selidiknya. Bagaimana Nasruddin menjawab? “Untaku dicuri insya-Allah.” ***

 Bonus Pict: Having Fun In "Eat Pray Love"