Michell Lived in the Black Well

BELAKANGAN ini aku selalu berkelakuan jutek sama appa dan ummaku, jika appaku menelefon, aku tak pernah mengangkatnya. Atau jika umma menanyakan sesuatu kepadaku, aku lebih suka kalau tidak menjawabnya. Tapi aku masih menunjukkan rasa hormatku sama mereka. Meskipun demi Tuhan (apa itu Tuhan?) betapa memuakkannya menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak penting mereka.

Bahkan dongsaeng, adek-adek aku, sebenarnya aku selalu merindukan mereka jika kebetulan tidak sedang di rumah. Tapi pada saat kami bertemu, aku ciumi mereka untuk melepas rindu. Sial, pada saat yang sama aku benci melihat keadaan mereka yang tampak jelas seperti anak orang miskin. Meskipun kepolosan, keluguan, cantik rupawan, imut bukan kepalang oh sekujur tubuh kalian, melebihi sekadar tampang childish demi Tuhan (Dia lagi) seharusnya aku bisa membahagiakan kalian.

Kerja keras. Itu cukup terdengar seperti omong kosong. Tapi aku benar-benar melakukannya entah buat siapa, keluargakah? Appa, umma, dan dongsaengkukah? Apa artinya beberapa sen uang yang aku bagikan ke mereka harita. mereka tidak akan tampak menjadi seperti orang kaya hanya dengan uang sepeser pemberian Michell sang penggelandang.

Aku benci kalian, aku sangat merindukan hari-hari di mana aku terusir dari Surga, konflik tiada henti dalam bahtera yang tergoyah ke kanan dan kiri. Menikmati kesendirian, memanfaatkan sisa uang di pinggir jalan, dengan Snow Flower Park Hyoshin memanjakan. Keinginan untuk meninggalkan kalian menguat semakin hari, menguat.

Bukan hanya kalian appa, umma, dan dongsaeng, tapi juga kalian chingudeul yang seharusnya gemetaran atau sekadar merasakan bagaimana jantung kalian seperti sedang melompat-lompat. Seperti yang selalu kukatakan, aku mencintai diriku sebagai Missel Christabel Meskipun faktanya kini aku lebih populer dengan nama Kainpel. Bahkan di kotaku, di Milliesfield City nama itu mulai menyebar luas sekarang.

Aku berada di dalam lubang sumur, jauh di dasar sini seringkali aku melihat ke atas mengharapkan kedatangan seseorang melongokkan kepalanya ke mari. Bertahun-tahun hari itu tak kunjung datang sampai kemudian kulihat seseorang menampakkan wajahnya dari atas sana. Aku antusias seperti menemukan harapan. Kupikir dia akan mengulurkan semacam tali, tapi kau tahu apa yang dia lakukan? Dia ikut turun ke dalam sini. Dia memberika semua yang kubutuhkan di dalam sini.

Aku senang dia tidak mengulurkan tali untuk membantuku naik dan memanjat keluar dari lubang sumur. Karena itu akan melibatkan orang lain yang menolongku. Terus terang berdua saja di dasar sini bersamanya seolah terasa lebih mulia daripada hidup memasyarakat di negeri yang makmur. Dia mengajakku keluar dari kegelapan sini. Tapi aku enggan memanjat, yang kupikirkan sekarang adalah aku hanya ingin tenggelam oleh air mata.

Silakan kau keluar duluan, aku tak suka dipaksa apalagi memaksa. Biarkan aku menunggu sampai air mata membawaku ke mulut sumur. Kehadiranmu hanya mengulur waktu, karena pada akhirnya aku tetap akan mati. Tapi jika kau memilih untuk tetap bersamaku di dalam sini, maka dengan sendirinya akan tumbuh dua kepak sayap di kedua bahumu, dan itulah cara yang sebenarnya kuinginkan agar kau bisa benar-benar mengeluarkanku dari sini.

Kuraba dadaku sebelah kiri, terasa sangat empuk, kuremas, seperti tak ada apa-apa, kecuali telapak tangan yang kulihat belakangan oh demi Tuhan (Tuhan lagi?) tampak seperti baru menyentuh bubuk tepung. ***